Dakwah KH. Zainuddin MZ tentang Al Quran

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarakatuh

Saudara-saudara, kaum muslimin rohimakumulullah. Setiap penganut agama di dunia ini mempunyai sebuah kitab yang dianggapnya sebagai kitab suci. Orang Hindu mempunyai Kitab Wedha. Orang Budha mempunyai Kitab Tripitaka. Orang Yahudi mempunyai Kitab Taurat. Orang Nasrani mempunyai Kitab Injil. Penganut Konghucu mempunyai Kitab Tautehking. Orang Majusi mempunyai Kitab Zenavesta. Orang Kebatinan mempunyai Kitab Serat Centani, Hidayat Jati, Darmo Gandul atau Gatolojo. Sementara kita, orang Islam diberikan Kitab Al-Quran Al-Karim oleh Allah.

Mengapa kita yakini bahwa Al-Qur’an ini sebagai kitab suci? Pertama, ia bebas dari intervensi dan investasi manusia. Ia sepenuhnya, baik isi maupun redaksi adalah produk dari Allah Subhanahu Wata’ala. Kita meyakini Al-Qur’an sebagai kitab suci karena sampai hari ini belum ada seorang pun yang sanggup membuat seperti itu. Suatu kitab hanya dinamakan suci jika dia bersih dari investasi dan intervensi manusia. Al-Qur’an ini, sejak turunnya 14 abad yang lalu telah menantang, “Apabila kamu ragu-ragu terhadap kebenaran Al-Qur’an yang Kami turunkan kepada hamba Kami, Muhammad, atau kamu menyangka bahwa Al-Qur’an itu hanya karangan Muhammad saja maka cobalah kamu buat sebuah surat semacam Al-Qur’an. Apabila kamu tidak mampu melakukannya seorang diri maka ajaklah seluruh teman-temanmu.”

Kedua, kita meyakini Al-Qur’an sebagai kitab suci karena isi dan ajarannya sesuai dengan fitrah manusia. Suatu kitab dinamakan suci jika ajarannya sejalan dengan fitrah manusia. Misalnya, laki-laki memiliki nafsu terhadap perempuan dan perempuan suka terhadap laki-laki. Hal ini adalah fitrahnya sebagai manusia. Jika ada kitab suci yang melarang manusia untuk menikah maka kesucian kitab itu perlu diselidiki. Al-Qur’an adalah kitab suci yang sejalan dengan fitrah manusia maka ia menganjurkan manusia yang mampu untuk melangsungkan pernikahan.
Contoh lain adalah secara fitrah manusia perlu makan. Jika ada kitab suci yang menyuruh manusia untuk puasa terus-menerus dari pagi sampai siang kemudian sore sampai malam lalu puasa lagi sampai pagi hari maka hal itu sama saja menyuruh manusia untuk mati. Al-Qur’an sesuai dengan fitrah manusia maka Islam melarang puasa wishol atau puasa ngableng atau puasa nyambung artinya seseorang puasa dari mulai pagi hari sampai pagi kembali dan tidak berbuka pada saat magrib. Puasa seperti ini bukan hanya tidak boleh tetapi hukum melakukannya adalah haram. Kenapa? Karena hal itu bertentangan dengan fitrah manusia.

Ketiga, kita meyakini Al-Qur’an sebagai kitab suci karena isi Al-Qur’an tidak kontroversi artinya isinya tidak saling bertentangan satu sama lain. Dalam ayat manapun Al-Qur’an mengajarkan bahwa Allah itu esa. Contoh lainnya, jika satu kali Al-Qur’an menjelaskan sesuatu itu adalah haram maka ia akan tetap berkata bahwa sesuatu itu adalah haram. Jika sebuah kitab suci memiliki kontroversi, misalnya di satu ayat mengajarkan bahwa Tuhan itu satu tetapi di ayat lainnya mengajarkan bahwa Tuhan itu ada tiga, di ayat lain mengajarkan bahwa Tuhan itu ada empat maka nama kitab itu adalah kitab kacau. Bagaimana suatu kitab disebut suci kalau isinya kontroversi satu dengan yang lainnya?

Dari ketiga kriteria inilah kita meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci. Masalah yang akan kita bahas pada kesempatan ini adalah bagaimana sikap kita terhadap Al-Qur’anulkarim sebagai kitab suci.

Berangkat dari sebuah hadits, dimana Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wassallam pernah memberikan tawaran. Beliau bersabda, “Siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an sebagai imam maka Al-Qur’an akan membimbing ia ke dalam surga tetapi siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an sebagai makmum maka Al-Qur’an akan mendorong ia ke dalam neraka.”

Pilihan itu terserah kepada kita. Siapa saja yang menjadikan Al-Qur’an sebagai imam, ditempatkannya Al-Qur’an di depan, dia ikuti petunjuk dan ajaran Al-Qur’an maka Al-Qur’an akan membimbingnya ke dalam surga. Baik surga dunia maupun surga akhirat. Tetapi sebaliknya, siapa saja yang menempatkan Al-Qur’an di belakangnya, dia belakangi Al-Qur’an, dia belakangi ajaran-ajaran dan perintah Al-Qur’an, dia menuruti hawa nafsunya dalam kehidupan maka Al-Qur’an akan mendorong ia ke dalam neraka. Baik neraka dunia maupun neraka akhirat. Pilihan itu terserah kepada kita.

Saya mau bertanya, kira-kira Al-Qur’an dalam hidup kita itu sebagai imam atau sebagai makmum? Kalau Al-Qur’an sebagai imam, artinya kita sebagai umat islam jadi makmum. Resiko dan logikanya adalah makmum harus mengikuti imam. Imam takbir, makmum takbir. Imam ruku’, makmum ruku’. Imam sujud, makmum sujud. Imam tahiyat, makmum tahiyat. Itu namanya Al-Qur’an menjadi imam dan kita menjadi makmum. Artinya dalam kehidupan adalah kita mengikuti ajaran Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an mengatakan merah maka kita juga mengatakan merah. Hijau kata Al-Qur’an, hijau kita bilang. Ke barat kata Al-Qur’an, ke barat kita pergi. Ke timur kata Al-Qur’an, ke timur kita berangkat. Halal kata Al-Qur’an, halal kata kita. Haram kata Al-Qur’an, haram kita bilang. Itu artinya Al-Qur’an sebagai imam dan kita sebagai makmum. Tetapi kenyataannya kadang-kadang kontras. Nyatanya kadang-kadang paradok. Merah kata Al-Qur’an, hijau dong kata kita. Halal kata Al-Qur’an, ah.. remang-remang kita bilang. Ke barat kata Al-Qur’an, ke timur kita pergi. Dalam praktek kita mau menjadi makmum tetapi kita menyuruh Al-Qur’an sebagai imam. Kita sesuaikan Al-Qur’an dengan selera kita. Mana ayat yang menguntungkan, mana ayat-ayat yang sesuai dengan keinginan kita. Itu yang kita baca kuat-kuat, itu yang kita canangkan ke tengah masyarakat ramai. Tapi manakala Al-Qur’an itu bertentangan dengan nafsu kita, bertentangan dengan gaya dan kepribadian kita maka kita sembunyikan itu Al-Qur’an. Kadang-kadang kita tuduh Al-Qur’an itu ketinggalan zaman, kita anggap Al-Qur’an tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi. Kalau sudah begitu, maka kita sudah menyebrang terlalu jauh.

Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Inilah makna hadits nabi yang diriwayatkan dari Imam Ali Bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an lalu memperhatikannya kemudian menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram maka Allah akan memasukkan orang itu ke dalam surga (surga dunia dan surga akhirat).”

Apabila kita renungi hadits ini maka untuk berimam kepada Al-Qur’an ada tiga jalan utama yang harus kita laksanakan. Pertama dari kataBarangsiapa yang membaca Al-Qur’an artinya siapa saja yang ingin menjadikan Al-Qur’an sebagai imam di dalam kehidupan maka jalan pertama yang harus ia tempuh adalah menanamkan kegemaran membaca Al-Qur’an. Al-Qur’an akan menjadi asing, Al-Qur’an akan menjadi aneh kalau terletak di tengah rumah orang islam yang tidak suka membaca Al-Qur’an. Jadi langkah pertama adalah tanamkanlah kegemaran membaca Al-Qur’an.

Saya tidak menyalahkan kalau remaja kita gandrung kepada Stevie Wonder, senang kepada suara emasnya Michael Jackson, atau suaranya Madonna. Tapi kalau sampai harus mengalahkan kecintaan mereka kepada membaca Al-Qur’an maka ini adalah sebuah ironi. Sebagai orang tua, kalau anak-anak kita buta huruf latin, katanya menghambat pembangunan. Bahkan pemerintah Indonesia menggalakan bebas buta aksara agar rakyat bisa membaca huruf latin. Kalau anak-anak kita buta huruf latin disebut sebagai penghambat pembangunan, lalu bagaimana dengan anak-anak kita yang buta akan huruf Al-Qur’an ? Itu jelas menghambat proses kesadaran dan kebangkitan dari dunia islam itu sendiri.

Satu contoh ringan, dulu sebelum pembangunan merata, listrik belum masuk desa, kampung gelap dan rumah memakai lampu minyak. Kalau kita masuk kampung maka terasa banyak orang islam. Kenapa? Di rumah sebelah sana kita mendengar ada anak muda yang sedang latihan membacarawi, di sebelah sini ibu-ibu sedang sholawatan dan di rumah sana ada remaja yang sedang membaca Al-Qur’an. Kemudian pembangunan pun maju dan listrik masuk desa tetapi justru terjadi proses pergeseran nilai. Setelah listrik masuk desa maka ini yang terjadi : orang-orang meyetel volume radionya dengan keras dan berlomba-lomba membeli televisi yang paling besar. Sedangkan membaca Al-Qur’an sudah menjadi barang yang aneh dan langka. Lihatlah sekarang di kampung-kampung, ada remaja yang sedang membaca Al-Qur’an, rasanya kok aneh, tidak umum. Sesuatu yang baik malah menjadi nilai-nilai keanehan.

Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Tanamkanlah kegemaran membaca Al-Qur’an. Dalam sebuah hadits nabi berpesan, “Sinarilah rumah tanggamu dengan bacaan Al-Qur’an.” Sebab listrik ini hanya bisa menerangi gelap tapi tidak akan sanggup menerangi hati manusia. Al-Qur’an adalah produk Allah. Selalu tepat dan pantas dibaca dalam setiap keadaan. Lihat saja orang yang sedih kemudian membaca Al-Quran, ia menjadi terhibur. Orang gembira membaca Al-Qur’an, ia menjadi tidak lupa diri. Di rumah mewah ada yang membaca Al-Qur’an, itu bagus. Di gubuk reot di pinggir sungai ada yang membaca A-Qur’an, itu cocok. Orang menikah dibacakan Al-Qur’an, itu bagus. Orang mati dibacakan Al-Qur’an, tidak jelek. Dalam segala keadaan, in all season Al-Qur’an pantas dibaca. Bahkan orang sakit gigi pun jika dibacakan Al-Qur’an ia tidak akan marah.

Abu Jahal dan Abu Lahab pernah rapat. Abu Jahal berkata, “Abu Lahab, setelah diperhatikan mengapa orang-orang Quraisy ikut kepada ajaran Muhammad, salah satu diantaranya adalah karena mereka terpesona setelah mendengar keindahan Al-Qur’an. Kita blokir saja !” Abu Lahab bertanya, “Bagaimana caranya?” Abu Jahal meneruskan idenya, “Berikanlah larangan kepada kaum Quraisy untuk tidak boleh mendengarkan Muhammad membaca Al-Qur’an. Kamu juga tidak boleh, Abu Lahab ! Begitu pun dengan saya.” Abu Lahab menganggukkan kepala, “Kita berjanji, kita tidak akan pernah mendengar Muhammad membaca Al-Qur’an.” Kemudian kedua petinggi kaum Quraisy itu bersalaman dan pulang ke rumah masing-masing.

Dalam jangka satu hari, Abu Jahal tahan untuk tidak mendengar Al-Qur’an. Hari kedua pun sama. Dia masih kukuh akan pendiriannya. Namun setelah seminggu ke atas Abu Jahal merasakan rindu untuk mendengarkan ayat Al-Qur’an. Karena secara pribadi dia mengakui keindahan gaya bahasa Al-Qur’an itu jauh lebih tinggi daripada kemampuan para penyair Quraisy dan isi dan ajarannya sangat dalam dan menyentuh segi-segi kehidupan manusia. Abu Jahal sudah tidak tahan lagi. Maka pada suatu malam ia keluar dari rumahnya secara sembunyi-sembunyi dan pergi ke rumah Nabi Muhammad. Ia ingin mendengar Nabi Muhammad membaca Al-Qur’an. Dan ternyata Abu Lahab pun melakukan hal yang sama. Abu Jahal berpikir bahwa Abu Lahab tidak akan keluar rumah untuk mendengarkan ayat Al-Qur’an dan Abu Lahab juga berpikiran sama tentang Abu Jahal. Mereka berdua sama-sama keluar dari rumah tapi bedanya Abu Jahal mengendap-endap dari sisi sebelah barat rumah nabi sedangkan Abu Lahab dari sisi sebelah timur. Mereka bergeser sedikit demi sedikit mencari posisi untuk mendengarkan ayat Al-Qur’an yang lebih baik dan keduanya ternyata bertemu di satu sudut yang sama. Spontan mereka berdua kaget bukan kepalang. Mereka berdua sama-sama malu karena tidak bisa menahan diri untuk tidak mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an. Dan akhirnya mereka berdua mengakui bahwa Al-Qur’an memiliki daya pikat dan pesona yang kuat bagi orang yang mendengarkannya. Itu baru dari segi bacaan belum dari segi isi ataupun ajarannya. Tanamkanlah kegemaran membaca Al-Qur’an. Bahkan Nabi bersabda, “Orang yang dari tenggorokannya belum pernah keluar satu huruf Al-Qur’an, belum pernah membaca satu pun ayat Al-Qur’an maka orang itu seperti rumah yang kosong.”

Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Dalam satu percontohan Nabi mengatakan, “Orang mukmin yang suka membaca Al-Qur’an adalah ibarat buah utrujah. Baunya wangi serta rasanya lezat. Orang mukmin yang tidak suka membaca Al-Qur’an adalah ibarat buah kurma. Rasanya memang manis tetapi tidak ada baunya. Orang Munafik yang suka membaca Al-Qur’an adalah ibarat buah roihanah. Baunya wangi tetapi rasanya pahit. Orang munafik yang tidak suka membaca Al-qur’an adalah ibarat buah hanzolah. Tidak ada baunya dan rasanya pahit.”
Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Tanamkanlah kegemaran membaca Al-Qur’an karena hal itu merupakan ibadah yang besar. Bahkan Nabi bersabda, “Nilai ibadah yang paling baik dari hambaku adalah ibadah membaca Al-Qur’an.” Membaca Al-Qur’an dalam sholat memiliki nilai ibadah yang lebih besar daripada di luar sholat. Membaca Al-Qur’an dengan berwudhu lebih besar pahalanya daripada tanpa wudhu. Mengerti Al-Qur’an lebih besar pahalanya daripada tidak mengerti. Tapi tidak mengerti pun dan ia mendengarkan ayat Al-Qur’an maka ia mendapatkan pahala mendengar Al-Qur’an. Itulah penjelasan pertama dari makna hadits diatas yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib bahwa kita harus senantiasa menanamkan kegemaran membaca Al-Qur’an.

Dalam hadits diatas berbunyi Barangsiapa yang membaca Al-Qur’an lalu memperhatikannya, maka makna selanjutnya dalam hadits ini adalah kita harus memperhatikan Al-Qur’an setelah membacanya. Pahamilah isi Al-Qur’an. Jangan seperti monyet yang memakai mahkota. Dia tertawa girang dan cengengesan tetapi dia tidak mengerti arti dari kebesaran mahkota yang disandangnya. Kita bangga akan Al-Qur’an tetapi tidak mengerti kandungan arti di dalamnya.

Bagaiamana caranya untuk memahami Al-Qur’an? Mudah saja. Contoh, jika kita ingin mengerti cara membuat tahu maka jangan bertanya kepada montir mobil. Montir mobil sangat ahli dalam urusan mesin tetapi jika urusan tahu maka tanyakanlah kepada ahli pembuat tahu. Untuk mengerti rahasia dan seluk-beluk Al-Qur’an maka kita harus bertanya kepada orang yang mengerti arti dan seluk-beluk Al-Qur’an yaitu para ulama, para kyai dan para ustadz yang kita tahu kualitas keilmuannya dan kita yakini loyalitas dan integritasnya kepada islam. Kenapa? Ayat-ayat Al-Qur’an itu elastis. Dia dibawa kemana saja dia mau. Bisa ditafsirkan menurut kemauan orang. Yang paling celaka adalah, orang yang belajar tidak mempunyai dasar dan orang yang mengajar memiliki maksud yang lain. Hal ini sesat dan menyesatkan. Orang yang ngajar mempunyai nafsu dan ambisi dan orang yang belajar menjadi tikus budeg, yang memang tidak mempunyai dasar apa-apa. Sekali belajar, langsung menafsirkan ayat. Cara wudhu yang baik saja belum mengerti, cara ruku’ dan sujud yang baik saja belum bisa dan tidak tahu apa saja yang membatalkan sholat. Belajar menafsirkan Al-Qur’an itu tidak jelek tetapi alangkah lebih baiknya jika orang yang mau belajar itu memiliki dasar penunjang dari nilai-nilai keilmuan islam untuk pembelajarannya nanti.

Di sinilah perlunya menghidupkan majlis-majlis ta’lim. Sebab jika Al-Qur’an dipahami dan diotak-atik menurut kemauan rasio saja -sedangkan kekuatan rasio manusia itu terbatas-, saya akan khawatir nantinya akan timbul pendapat-pendapat dimana Al-Qur’an disesuaikan dengan otak. Bukan otak yang mengikuti Al-Qur’an tetapi Al-Qur’an yang disuruh mengikuti otak.

Contoh, jika Saudara mengukur kayu menggunakan meteran, apakah meteran itu ikut kayu atau kayu yang mengikuti meteran? Jika meteran mengikuti kayu maka tidak ada meteran yang benar di dunia ini. Jika kayunya terlalu pendek maka meterannya yang dipotong. Yang benar adalah kayu yang harus mengikuti meteran. Otak harus ikut wahyu jangan wahyu yang disuruh untuk mengikuti otak. Manusia ikut Al-Qur’an, jangan sebaliknya.
Kaum orientalis, orang barat yang non-muslim yang mempelajari dan mendalami Islam untuk mencari kelemahan umat islam dan untuk menghantam umat islam, mereka sengaja mencari ayat-ayat Al-Qur’an yang mereka kumpulkan untuk menghancurkan umat islam. Supaya umat islam sendiri meragukan Al-Qur’an dan meninggalkan Al-Qur’an. Timbullah pendapat ada ayat Al-Qur’an yang sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi sekarang. Seolah-olah otak manusia sudah jauh lebih pintar daripada Al-Qur’anulkarim.

Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Untuk memahami Al-Qur’an, kita harus bertanya kepada orang yang ahli dalam Al-Qur’an dan menghidupkan majlis-majlis ta’lim. Jangan sampai Al-Qur’an menjadi awam di tengah masyarakat islam itu sendiri. Ini adalah jalan yang kedua dalam menjadikan Al-Qur’an sebagai imam kita yaitu dengan memahami isinya. Sehingga demikian manakala Al-Qur’an dibacakan oleh orang, kita tidak lagi terpusat kepada kemerduan suara orang yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an itu tetapi tertuju kepada isi yang dikandungnya. Sehingga dalam kondisi semacam itu, boleh jadi setiap kali dibacakan Al-Qur’an, nilai iman kita semakin bertambah.

Kita mendengar orang membacakan ayat dari surat Al-Fil, alam taro kaifa fa’ala robbuk biashaabil fil maka kita membayangkan bagaimana Raja Abrahah akan menghancurkan Ka’bah dengan pasukan gajah. Allah cukup mengirimkan burung Ababil dan hancurlah raja besar itu beserta dengan seluruh pasukan gajahnya. Hancur berantakan, berkeping-keping, berserakan. Allah Maha Besar, Allah Maha Kuasa. Dengan mendengar dan mengerti arti dari ayat itu maka bertambahlah iman di dada kita.

Jika kita tidak memahami Al-Qur’an maka seperti mayoritas terjadi di masyarakat, misalnya ketika Al-Qur’an menceritakan adzab (siksa), kita malah merasa senang. Contoh kita mendengar ayat Walakum adzabun alim artinya Dan kamu akan mendapat siksa yang pedih, kita yang mendengar di sudut majlis berteriak Toyyib, Toyyib ! artinya baik, baik. Allah, Allah ! Alhamdulillah ! Al-Qur’an sedang menceritakan adzab malah berteriak bahwa itu adalah hal yang baik. Kita menyukai bacaan Al-Qur’an yang dilantunkan oleh Qori/Qori’ah dengan suara mereka yang merdu, itu adalah hal yang baik, Alhamdulillah. Tetapi akan lebih baik lagi apabila kita mengerti arti dari ayat Al-Qur’an yang kita dengarkan. Sebab perintah membaca (iqra) Al-Qur’an, tersirat perintah untuk memahami Al-Qur’an. Perintah memahami, tersirat makna untuk mengamalkan. Dengan kata lain, kita hanya bisa mengamalkan Al-Qur’an dengan baik apabila kita mengerti isinya. Kita hanya bisa mengerti isinya apabila kita rajin membacanya, baik membaca yang tersirat maupun yang tersurat dengan petunjuk dari para alim ulama, para kyai dan orang-orang yang ahli di bidang Al-Qur’an.

Saudara-saudara kaum muslimin rohimakumullah ! Inilah jalan kedua. Upayakanlah memahami isi Al-Qur’an. Hidupkan kajian-kajian agama. Hidupkan majlis-majlis ta’lim. Jangan sampai Al-Qur’an menjadi asing di hati kita sendiri. Jangan sampai kita awam terhadap makna dan kandungan Al-Qur’an, sementara kita yakini bahwa Al-Qur’an siap membimbing kita sejak dari dunia hingga akhirat nanti.

Langkah selanjutnya untuk berimam kepada Al-Qur’an setelah menanamkan kegemaran membaca lalu berupaya memahami isinya adalah mengamalkannya dalam kehidupan sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.

Al-Qur’an tidak akan membawa berkah apabila ajaran yang terkandung di dalamnya, kita baca tetapi kemudian kita menginjak-injaknya dalam praktek kehidupan. Al-Qur’an mengatakan riba dan haram, tetapi dalam praktek kehidupan kita lebih senang kepada riba dan haram. Al-Qur’an mengajarkan untuk menjaga persatuan dan kesatuan dan ukhuwah islamiyah tetapi praktek yang kita lakukan malah centang-perenang, malah saling bertolak-belakang, malah kadang menjegal kawan seiring, menggunting dalam lipatan, saling ribut sesama manusia, lalu kelemahan pun menjadi kenyataan dimana-mana. Sekali lagi, Al-Qur’an tidak akan membawa berkah apabila Al-Qur’an yang kita baca malah kita injak-injak (artinya tidak kita amalkan).

Tentang pengamalan Al-Qur’an ini, Allah berfirman, “Kemudian kami wariskan Al-Qur’an ini kepada hamba-hamba Kami yang Kami pilih. Diantara mereka ada yang dzolim kepada diri mereka sendiri, kemudian ada yang muqtasid (setengah-setengah) dan ada yang berlomba-lomba mengamalkannya atas izin Allah.”

Jadi tiga cara untuk berimam kepada Al-Qur’an adalah gemar membaca Al-Qur’an, memahami isi dan ajaran Al-Qur’an dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. Cintailah Al-Qur’an, Saudaraku. Bacalah dan jadikan ia sebagai pedoman dan petunjuk dalam hidupmu.