Kisah Bidadari untuk Anakku

Malam telah menyelimuti kota Madinah. Angin berhembus pelan menambah dinginnya udara saat itu. Lampu-lampu di seluruh penjuru kota telah banyak dimatikan, hanya beberapa yang masih menyala.

Amirul Mukminin, Umar bin Khattab bersama pembantunya yang setia, Aslam, berjalan keluar menembus dinginnya malam Madinah untuk mengamati keadaan rakyat seperti biasanya.

Khalifah Umar dan Aslam terus berjalan menyisiri jalanan kota Nabi itu. Perjalanan itu membuat tubuh Khalifah Umar sangat lelah. Khalifah Umar segera bersandar pada sebuah tembok rumah sederhana yang berada tepat di pinggir Jalan.

Dari balik tembok rumah itu, samar-samar Khalifah Umar mendengar suara seorang perempuan sedang berbicara dengan putrinya.

Sang ibu berkata, “Nak, cepat kau campur susu itu dengan air tawar!”

Spontan putrinya itu menoleh dan bertanya, “Ibu, apakah kau tidak tahu ketetapan Amirul Mukminin tadi pagi?”

“Ketetapan apa itu?” Tanya sang ibu penasaran.

“Tadi pagi, Amirul Mukminin memerintahkan seseorang untuk mengumumkan bahwa susu tidak boleh dicampur dengan air.”

“Ah…sudahlah, cepat kau campur susu itu dengan air. Tenanglah, kau di tempat yang tidak bisa terlihat oleh Umar maupun juru siarnya.”

Mendengar itu, hati Khalifah Umar bergetar hebat. Dia begitu ingin menampar muka wanita itu. Dia beristigfar pelan dan kembali mendengarkan pembicaraan ibu dan anak itu.

Putrinya tersenyum dan dengan, santun dia menjawab, “Ibu, demi Allah, aku tidak akan menuruti segala perintah Umar saat aku berada di keramaian, sementara saat sendiri aku mengkingkarinya. Walaupun Umar tidak tahu hal ini, tetapi Rabb Amirul Mukminin Maha Mengetahui”

Khalifah Umar tersentak mendengar jawaban anak wanita itu. Tak disangka, ternyata anak wanita itu adalah seorang wanita shalehah yang memiliki budi pekerti seanggun bidadari. Sangat jarang wanita yang memiliki kepribadian seperti itu. Dia tak menyia-nyiakan kesempatan ini dan berencana menjodohkan bidadari itu dengan salah seorang anaknya.

Khalifah Umar memandang Aslam dan berkata, “Aslam, ingat pintu dan jalan menuju tempat ini”’ Aslam mengangguk paham. Mereka berdua kembali melanjutkan ronda di malam itu.

Sesudah shalat subuh. Khalifah Umar memanggil Aslam. Begitu Aslam telah berada di depannya. Khalifah Umar berkata, “Aslam, kembalilah ke rumah itu. Lihatlah siapa wanita yang berbicara itu dan siapa yang diajak bicara olehnya. Dan apakah mereka mempunyai suami?”

Aslam segera berangkat ke rumah wanita itu. Saat tiba di rumah wanita yang dimaksud oleh Khalifah Umar, dia melihat dengan cermat kondisi penghuni rumah itu. Ternyata rumah itu hanya dihuni oleh seorang wanita janda dan putrinya yang belum menikah.

Aslam bergegas kembali ke kediaman Khalifah Umar. Begitu berada di hadapan Khalifah Umar, dia memberitahu dengan detail informasi yang baru dia dapatkan.

Khalifah Umar memanggil seluruh anak laki-lakinya. Tak berselang lama seluruh putra Khalifah Umar telah datang.

Khalifah Umar menatap tajam wajah putra-putranya itu dan berkata, “Apakah di antara kalian ada yang ingin menikah lagi? Apabila ada, maka aku akan menikahkannya.”

Semua putra Khalifah Umar hanya terdiam. Tak satu pun dari mereka yang berani menyela pembicaraan ayah mereka.

“Sungguh apabila ayahmu ini masih berminat pada seorang wanita tentu saja kalian tidak akan ada yang mendahuluiku mempersunting gadis itu.”

Khalifah Umar menatap tajam wajah Abdullah bin Umar, putra sulungnya. Abdullah dengan sopan berkata, “Maaf ayah, aku sudah memiliki istri.”

Kini wajah Khalifah Umar berpindah ke wajah Abdurrahman. Abdurrahman berkata, “Aku minta maaf ayah, aku juga sudah memiliki seorang istri.”

Ashim yang dari tadi terdiam, akhirnya angkat bicara, “Ayah aku tidak memiliki seorang istri, maka nikahkanlah aku dengan wanita pilihanmu itu.”

Khalifah Umar tersenyum puas. Keinginannya akhirnya terwujud. Dengan tersenyum dia berkata, “Wahai Ashim. Pergilah kau ke tempat ini dan ini. Di tempat itu ada seorang gadis. Apabila dia tidak keberatan dan tersibukkan oleh suatu hal apa pun maka nikahilah gadis itu. Semoga Allah memberikan keturunan yang diberkahi darinya.”

Khalifah Umar dengan Ashim segera berangkat ke rumah wanita itu.

Begitu sampai di rumah wanita itu, Khalifah Umar menceritakan seluruh kejadian mulai dari awal. Lantas Khalifah Umar menasehati sang ibu agar tidak mengulangi perbuatan buruknya. Dan saat itu juga, Khalifah Umar menikahkah Ashim dengan putri wanita penjual susu itu.

Dan dari pernikahan yang berkah dan indah inilah, lahir seorang Khalifah yang zuhud (sederhana) dari salah satu keturunan mereka, Umar bin Abdul Aziz.

… وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ  …

Artinya: “Dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). ” (Q.S. An-Nur [24]: 26)