REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sa'i merupakan salah satu prosesi (rukun) yang harus dilaksanakan ketika beribadah haji dan umrah. Sa'i merupakan ritual berlari-lari kecil dimulai di Bukit Safa dan diakhiri di Bukit Marwah yang dilakukan sebanyak 7 kali.

Ritual ini diwajibkan sebagai gambaran perjuangan Siti Hajar ketika mencarikan air untuk bayinya, Nabi Ismail. Nabi Ismail adalah putra dari Nabi Ibrahim yang menikahi budaknya, Siti Hajar. Ibrahim menikahi Hajar karena ia belum kunjung dikaruniai anak di saat ia sudah berusia lanjut dari pernikahannya dengan Siti Sarah.

Dikisahkan, Siti Sarah yang merasa cemburu kepada Hajar, membuat Ibrahim membawa Hajar beserta Ismail untuk dipindahkan ke tempat lain. Allah kemudian memerintahkan Ibrahim pergi ke Kota Makkah bersama mereka.

Di perbukitan tandus itulah, Ibrahim membangun sebuah rumah dari dahan pohon. Ibrahim kemudian berpamitan untuk kembali ke Palestina. Dengan memelas, Hajar bertanya, “Bagaimana mungkin kau akan meninggalkan kami. Daerah ini sangat tandus, tidak ada air dan tidak ada teman seorang pun.”

Kedua kalinya, Hajar bertanya kembali, apakah kepergian Ibrahim itu atas perintah Allah. Nabi Ibrahim pun mengiyakan, bahwa itu adalah perintah Allah. Hajar kemudian berkata, “Kalau begitu, Allah pasti akan mengurus kami. Berangkatlah! Semoga engkau dalam lindungan-Nya.”

Di tempat yang tandus dan tiada seorang pun yang dapat menolong itu, Siti hajar kehabisan bekal dan air susunya mengering. Ismail kemudian menangis kelaparan.

Siti Hajar dengan ketawakalannya berupaya mencari air minum untuk sang putra saat kehabisan air. Karena kasih sayangnya, Siti Hajar mondar-mandir dari Bukit Safa dan Bukit Marwah sebanyak 7 kali untuk mencari sumber air.

Upaya Hajar ini kemudian dihormati dan diabadikan dalam bentuk ritual Sai dalam haji dan umroh. Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda, “Oleh sebab itu, manusia melakukan sa'i di antara keduanya.”

Tidak lama kemudian, muncul pertolongan Allah SWT. Dalam buku berjudul “Kisah Masa Kecil Para Nabi Seru, Menyentuh & Menakjubkan,” karya M. Zaenal Abidin, disebutkan ketika berada di atas bukit Marwa, Hajar mendengar suara. Beberapa kali terdengar, ia kemudian dikejutkan dengan kehadiran Malaikat Jibril di dekat Ismail yang tengah menangis sembari menghentakkan kakinya.

Jibril menunjukkan lokasi adanya air di tempat tersebut. Hajar lantas menggali tempat yang ditunjukki dengan tangannya, hingga keluar air yang deras. Hajar merapatkan tangannya sembari berkata, “Zamzam! Zamzam!(yang artinya berkumpullah). Hajar lantas meminum air zamzam tersebut, sehingga ia bisa menyusui Ismail kembali.

Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda, “Allah merahmati ibunya Ismail, ketika ia tidak mampu mendapati air. Allah memancarkan air zamzam untuknya, lalu ia minum air zamzam tersebut dan menyusui anaknya. Malaikat tersebut berkata kepadanya, ‘Jangan sampai kamu merasa takut celaka karena sesungguhnya kamu berada di rumah Allah yang dibangun oleh anakmu ini dan bapaknya. Dan sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan hamba-Nya.” (HR. Bukhari).

Desakan tumit Ismail di tanah pasir tersebut telah mengalirkan air zam-zam yang hingga kini tidak pernah kering. Sumur zam-zam itu sendiri yang kemudian menjadi cikal bakal tumbuhnya peradaban tanah tandus Arab. Karena itu, Nabi Ismail lantas dijuluki sebagai bapak dari bangsa Arab.

Seiring waktu, Makkah pun mulai ditempati manusia. Adil Musthafa Abdul Halim dalam bukunya berjudul “Kisah Bapak dan Anak dalam Al-Qur'an,” bahwa sekelompok orang yang berasal dari kabilah Jurhum lewat di tempat itu selang beberapa waktu semenjak munculnya air zamzam. Ketika mereka sampai di kota Makkah, mereka menyaksikan burung-burung berkumpul di sekitar tempat keluarnya air zamzam.

Mereka juga hendak mencari sumber air. Utusan mereka kemudian melihatnya dan kemudian meminta izin pada Hajar untuk tinggal di sana. keluarga mereka pun dipanggil untuk tinggal di sana, sehingga mereka kemudian membangun tempat permukiman. Kala itu, Hajar menegaskan bahwa air zamzam tersebut miliknya dan tidak boleh dikuasai kabilah pendatang tersebut. Di sana, Ismail pun tumbuh menjadi pemuda dan belajar bahasa Arab kepada mereka. Ia juga menikahi gadis dari kalangan kabilah tersebut.