Pada tahun ke 9 H, sekitar bulan Zulkaidah atau Zulhijah, Nabi Muhammad SAW memberikan amanah kepada Abu Bakar untuk menjadi amirul hajj , memimpin rombongan muslim dari Madinah ke Makkah untuk melaksanakan haji.

Sejatinya, Rasulullah Saw sangat ingin berhaji di tahun itu. Namun beliau terhalang beberapa urusan yang tak bisa digantikan. Terlebih kaum musyrikin masih menguasai Ka’bah, bahkan masih ada di antara mereka yang thawaf dalam keadaan telanjang.

Misi perjalanan ke tanah suci kali ini adalah mengembalikan manasik haji agar tidak tercampur dengan perbuatan syirik. Hingga Allah Swt kemudian menurunkan surat Bara’ah yang berisi tentang perombakan perjanjian.

Melihat jemaah haji yang dipimpin Abu Bakar sudah bertolak menuju Makkah. Rasulullah SAW segera mengutus Ali bin Abi Thalib sebagai perwakilan Nabi Muhammad SAW, guna mengabarkan ketetapan tersebut. Pasalnya, dalam tradisi Arab, orang yang melepas perjanjian tentang darah dan harta harus punya hubungan kekerabatan.

“Pergilah dan kabarkan mengenai surat Baraah ini. Umumkan pada orang-orang di hari penyembelihan, saat mereka berkumpul di Mina, bahwa orang kafir tidak akan masuk surga. Orang musyrik tidak akan berhaji lagi setelah tahun ini, serta tak kan ada lagi yang berthawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Barangsiapa yang memiliki perjanjian dengan Rasulullah Saw, maka perjanjian mereka ditetapkan sampai masanya,” demikian Nabi Muhammad Saw berpesan kepada Ali bin Abi Thalib, putra pamannya.

Ali kemudian naik ke punggung unta kesayangan Rasulullah SAW yang dinamai Adba, menyusul Abu Bakar dan rombongan haji, hingga akhirnya mereka bertemu di kawasan al-Arj atau Dhajnan.

Melihat menantu Rasulullah SAW itu, Abu Bakar pun bertanya, “Kamu datang sebagai pimpinan atau ikut rombonganku?”

“Aku menjadi bagian dari rombonganmu,” jawab Ali bin Abi Thalib

Maka Ali segera berbaur ke rombongan dan Abu Bakar pun mengatur para jemaah haji.

Seruan akhir haji kaum musyrikin

Tatkala tiba hari nahr (pemotongan kurban), Ali bin Abi Thalib berdiri di dekat tempat pelemparan jumrah. Dengan lantang suami Fatimah binti Muhammad ini mengumumkan pesan yang diamanahkan Rasulullah Saw kepadanya.

Umat muslim bersorak gembira. Hingga Abu Bakar pun mengirim beberapa lelaki untuk menyerukan pada setiap insan:

“Ingatlah, setelah tahun ini tidak ada orang musyrik yang berhaji, dan tidak ada yang boleh berthawaf di Baitullah dengan keadaan telanjang.”

Seruan ini menjadi penegasan bahwa praktik penyembahan berhala di Jazirah Arab telah berakhir. Kaum musyrik tak akan lagi menguasai Ka’bah, apalagi berthawaf tanpa busana di tubuhnya. (AN)

Wallahu a’lam.

Referensi: Disarikan dari ar-Rahiq al-Makhtum karya Shafiyurrahman al-Mubarakfuri, Al-Bidayah wan Nihayah karya al-Hafiz Ibnu Katsir