Kisah Kakek Rasulullah dan Awal Mula Nazar

Disaat kota Makkah sangat sulit menemukan sumber air untuk memenuhi kebutuhan penduduk, Abdul Muthalib pun bermimpi. Ia didatangi oleh seseorang dan berkata, “ Cari! Dan galilah zamzam!”

Mimpi tersebut ditafsirkan sebagai sebuah petunjuk untuk menemukan sumur zamzam yang telah lama hilang. Kotoran dan darah yang turut hadir di mimpinya dimaknai sebagai simbol air yang mengenyangkan dan menyembuhkan penyakit. Paruh gagak tuli merujuk istilah penduduk Habasyah yang pernah berhasrat menghancurkan Ka’bah. Sementara gambaran sarang semut menandakan bahwa zamzam akan segera kembali ditemukan dan dikerumuni banyak orang.

Akhirnya setelah berkali-kali melakukan pencarian, zamzam pun ditemukan. Kabar tersebut membuat penduduk kota Makkah begitu bahagia. Namun, sayangnya kesempatan itu justru membuat mereka buta oleh nafsu. Terlebih lagi setelah sekian lama penduduk kesulitan untuk mendapatkan air.

Ditengah suasana kacau tersebut, Abdul Muthalib mencoba menenangkan penduduk. Namun, mereka justru malah berkata kasar kepadanya.

” Wahai Abdul Muthalib! Apakah kau berani menghalangi kami, sedangkan kau sendiri tidak mempunyai anak lelaki yang dapat menjagamu?!” ujar seorang lelaki.

Abdul Muthalib yang mendengar hal tersebut pun begitu bersedih. Karena Abdul Muthalib memang hanya memiliki satu orang anak yaitu Harits.

Padahal sejak lama Abdul Muthalib ingin menambah keturunannya. Namun, belum juga dikabulkan oleh Allah SWT.

Hingga akhirnya Abdul Mutahlib membuat sebuah nazar, ” Ya Allah, jika Engkau memberiku sampai sepuluh anak, maka akan aku kurbankan untuk-Mu putra yang paling akhir kelahirannya.”

Bimbang Tunaikan Nazar

Doa Abdul Mutahalib pun akhirnya diijazab oleh Allah. Istrinya bahkan melahirkan hingga sepuluh anak. Dan anak terkakhir diberi nama Abdullah.

Abdullah tumbuh dengan sangat baik. Ia begitu rupawan dan sangat cerdas. Betapa Abdul Muthalib dan sang istri sangat menyayangi Abdullah.

Namun, nazar tetaplah nazar. Abdul Muthalib harus menepatinya. Terlebih lagi ia adalah salah satu petinggi suku Quraisy.

Namun Abdul Muthalib belum bisa melepaskan Abdullah. Ia pun kembali berdoa agar Allah memperkenankan nazarnya diganti layaknya kisah Nabi Ibrahim dulu.

Waktu Untuk Menepati Nazar

Tibalah saat waktu yang dinazarkan. Ketika Abdul Muthaliob bersiap untuk menyembelih Abdullah, ia dipergoki oleh petinggi suku Quraisy yang lain. Mereka pun mencegah Abdul Muthalib melakukan hal tersebut.

Mereka pun menyarankan Abdul Mutahlib untuk membuat sebuah undian. Salah seorang dari mereka mengatakan, ” Tulislah Abdullah di tubuh satu anak panah, kemudian sembilan batang lainnya ditulisi nama unta.”

Aturan mainnya, sepuluh anak panah itu diletakkan di depan berhala Hubal. Setelah siap, Abdul Muthalib dipersilakan memilih dengan mata terpejam.

Jika anak panah yang terpilih bertuliskan lafaz ” unta” , maka tak boleh ada seorang pun menghalangi Abdul Muthalib menyembelih putranya. Namun apabila yang muncul adalah nama Abdullah, maka Abdul Muthalib harus mengulanginya terus-menerus sembari menambahkan sepuluh unta yang dilambangkan dengan jumlah anak panah sampai hitungan ke seratus pun tiba.

Abdul Muthalib menyepakati. Meski begitu, di dalam hatinya penuh harap melafalkan doa agar Tuhan berkenan menyelamatkan Abdullah.

Sejak pengundian pertama, Abdul Muthalib selalu berhasil menarik anak panah bertuliskan Abdullah. Ia pun menambah sepuluh batang anak panah di setiap pengundian yang dilalui, hingga mencapai hitungan seratus unta. Dan akhirnya ia menyembelih seratus ekor unta untuk dibagikan kepada penduduk Makkah.

Peristiwa ini akhirnya menjadi aturan hukum suku Quraisy yang menerapkan denda sepuluh ekor unta bagi pembunuh satu nyawa, konsekuensinya dinaikkan menjadi seratus ekor unta.

Mengenang peristiwa itu, Rasulullah SAW bersabda, ” Aku adalah putra dari dua orang yang disembelih (dikurbankan).” Dua nama itu adalah Nabi Ismail dan Abdullah, ayah Rasulullah SAW.