Ayah dari KH. Dr. Idham Chalid bernama KH. Muhammad Chalid bin H. Muhammad Munang (Anang Sa’ad). Beliau dikenal sebagai seorang ulama, guru tarekat, pedagang, tabib, penghulu agama, khatib, penceramah, pawang buaya, mengislamkan banyak orang, mengajar matematika (berhitung) dan ilmu bumi. Beliau mengajarkan masyarakat ilmu agama seperti baca tulis Alqur’an, Tajwid, dan Ilmu Fiqh.

Sewaktu muda beliau belajar di kampung halamannya di Amuntai dari beberapa ulama yang ada. Beliau mempelajari Mukhtashar Syarh Jurmiyah (Ilmu Nahwu) dan Baijuri Ibnu Qasim dan Fathul Qarib (Ilmu Fiqh) dan Kifayatul Awam (Ilmu Tauhid) dari Syekh Chalid Tangga Ulin. Juga belajar kepada seorang ulama yang masih keluarga dekat, Tuan Guru Haji Abdul Qadir Panangkalaan, dan Tuan Guru Haji Nanang Taluk Pakacangan, beberapa kitab, antara lain: Sabil al-Muhtadin karya Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, Siyar as-Salikin karya Syekh Abdussamad al-Falimbani, Mathla’ al-Badrain karya Syekh Daud al-Fatani, dan kitab-kitab tasawuf. Kemudian diajari berniaga ke Singapura oleh ayah beliau, Haji Muhammad Munang.

Selama 11 tahun berada di Singapura dan Johor, beliau mengaji agama dari seorang sayyid yang alim dan terkenal di Singapura. Selain itu juga menjadi wakil Syeikh Said Gusti di Mekah (sepupunya) untuk menerima, menampung, dan mengirimkan calon jamaah haji dari Indonesia. Dalam waktu 11 tahun itu sesekali beliau berangkat ke Makkah, dan disana belajar tarekat.

Beliau berdagang hasil hutan seperti ulin (kayu besi) dalam bentuk balok dan sirap, dammar dan lain-lain yang dibawa ke Banjarmasin dengan perahu milik sendiri. Dari Banjarmasin membawa bahan pokok keperluan sehari-hari seperti garam, gula, bawang, barang pecah-belah, kain, minyak tanah, dan sebagainya. Barang-barang itu dijual ke pelosok yang jauh, kadang-kadang melalui sungai Setui.

Berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan beliau berada di pedalaman dan hutan belantara, tidur di perahu layar (pinisi). Selain menjajakan barang dagangan, yang menarik beliau mengunjungi perkampungan terpencil adalah menjalin silaturahmi.

Berkat hubungan yang kian lama kian baik dengan penduduk setempat, beliau berhasil menarik beberapa dari penduduk itu melepaskan kepercayaan animismenya dan memeluk Islam. Setiap tahun semakin banyak muallaf berkat dakwah yang beliau jalankan. Cara dan sistem berdakwah yang beliau jalankan ialah datang berkunjung yang kelihatannya berniaga, membawa barang dagangan dan membawa hasil hutan.

Bukan dengan cara begitu datang langsung berdakwah. Cara terang-terangan seperti itu pernah dilakukan Zending Kristen, juga pernah dicoba oleh satu-dua muballigh sebelum KH. Chalid, namun gagal total.

Keyakinan penduduk setempat itu diwarisi dari nenek moyang mereka beratus-ratus tahun lamanya. Tentu tidak akan goyah jika hanya mendengar dua-tiga kali pidato dari agama lain. Hal ini memerlukan metode dakwah yang tersendiri. Salah satu faktor yang membuat mereka menerima dakwah KH. Chalid adalah karena beliau membantu masyarakat, menaklukkan buaya.

Beliau pernah merantau ke Riau, seperti daerah Tambilahan, Kuala Tungkal, dan lain-lain. Disanalah beliau belajar dari seorang pawang bagaimana menangkap buaya. Saat itu hanya iseng-iseng, ingin menambah pengalaman. Tak disangka, ternyata ilmu itu sangat berguna di kemudian hari ketika beliau berdakwah di Setui.

Di daerah Setui, terkenal dengan sungainya yang penuh dengan buaya-buaya ganas. Saat itu sungai adalah satu-satunya transportasi terbaik di Kalimantan Selatan. Sungai juga menjadi jantung kehidupan, karena masyarakat mandi, minum, mencuci dan memasak, semuanya membutuhkan sungai.

Sungai itu sangat kaya dengan ikan-ikan yang mengandung protein tinggi, sehingga bisa meningkatkan ekonomi. Namun anehnya tidak ada yang menjadikannya mata pencaharian. Kesempatan hidup baik ada, kesempatan mati konyol juga ada. Karena sungai itu juga dipenuhi ratusan buaya. Tidak kurang dalam setahun ada sekitar 4-5 orang yang jadi korban disambar buaya.

Untuk memberantas buaya itu, pemerintah juga telah mengusahakan, yaitu dengan ditembaki. Namun apa artinya tembakan 4-5 buaya. Rakyat setempat juga memiliki senapan kuno (bedil sundut), namun hanya mampu melukai buaya, tidak sampai mati. Cara tradisional lain yang dimiliki Indonesia dalam menaklukkan buaya adalah dengan mengandalkan ketokohan pawang buaya.

Setiap kali ada yang disambar buaya, masyarakat heboh dan panik. Suatu ketika ada salah seorang di antara mereka meminta tolong agar menangkap buaya yang berdosa itu. KH. Chalid yang tidak pengalaman, hanya mencoba-coba saja, dan ternyata usahanya menaklukkan buaya itu manjur. KH. Chalid semakin yakin dengan ajaran gurunya di perantauan. Penduduk juga yakin, bahwa KH. Chalid punya ilmu khusus menangkap buaya yang memangsa manusia.

Bagaimana cara menangkapnya? Sang anak, KH. Dr. Idham Chalid menjelaskan secara umumnya, karena beliau sendiri belum pernah bertanya tehniknya secara rinci kepada ayah beliau. Caranya dimulainya dengan mengambil air wudhu, shalat sunnah dua rakaat, membaca wirid khusus untuk itu dan mengucapkan beberapa mantera bahasa daerah. Peralatan yang digunakan adalah pancing yang besar berikut umpannya, kalau tidak salah bangkai ayam atau monyet. Pancing itu diseret dengan perahu (jukung) ke sepanjang sungai yang diperkirakan menjadi tempat bersarang buaya itu.

Sulit dijelaskan secara rasional bahwa lebih dari 90 persen usaha itu berhasil. Hanya buaya yang bersalah lah yang memakan umpan itu. Konon, buaya-buaya yang tidak bersalah akan ikut menghindar dan menjauhi tempat itu. Bila dalam beberapa hari buaya nakal itu masih belum tertangkap, maka pawang dengan suara nyaring meneriakkan ancaman berikut mantera pengantar kepada semuanya, yaitu jika mereka tidak membantu penangkapan si pembunuh, maka semuanya akan dimusnahkan.

Pernah terjadi, dengan disaksikan orang banyak, beberapa ekor buaya mengapit seekor buaya yang berdosa dan mendorongnya untuk memakan pancing itu sehingga tertangkap.

Dalam autobiografinya, yang ditujukkan untuk anak-anak, cucu-cucu, dan murid-muridnya, KH. Dr. Idham Chalid mengatakan tentang peristiwa ini:

“Otak saya yang tidak bisa menerima, sulit membuat analisa ilmiah. Akan tetapi, kesaksian orang banyak terhadap sesuatu yang benar-benar terjadi itu tidak pula saya bisa menyangkalnya. Untunglah saya seorang yang percaya yang gaib, percaya kekuatan rohani, dan amat percaya kekuasaan Allah SWT. Percaya bahwa dengan ayat-ayat Alquran, manusia bisa mendapat kekuatan gaib, asal diyakini dengan seyakin-yakinnya”.

Chalid sang pawang pernah ditanya, bagaimana cara menjinakkan buaya yang meronta-ronta sesudah kena pancing, mengamuk ingin melepaskan diri, tapi tiba-tiba dengan jinak mau ditarik dan diangkat ke darat tidak berkutik. Beliau menjawab, bacakan Kullu nasfin dzaiqatul maut (tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan kematian). Ini dibaca terus menerus, sambil menarik pancing itu.

Setelah beberapa kali berhasil menangkap buaya. Alangkah kagumnya dan berterima kasihnya mereka kepada KH. Chalid, karena dendam dan penasaran telah terpenuhi. Masyarakat minta diajarkan ilmu itu. Mereka pun dengan susah payah menghafalkan ayat-ayat dan mantera-mantera, apalagi buta huruf latin maupun huruf Arab. Ilmu itu berkali-kali mereka praktekkan, dan sering berhasil. Akhirnya di antara mereka masuk Islam dengan sendirinya, tanpa dibujuk.