Kisah Nabi Daud dan Cacing Tanah
Diceritakan dalam Mukasyafatul Qulub karya Imam Ghazali, bahwa suatu ketika Nabi Dawud As duduk di majelisnya dengan membaca kitab Zabur, tiba-tiba ia melihat seekor cacing di tanah, lalu ia berkata di dalam hatinya, “Apa yang dikehendaki Allah Swt dengan cacing ini?”
Kemudian Allah mengizinkan kepada cacing itu berbicara, “Wahai Nabi Allah, Ketika siang Allah Swt mengilhamkan kepadaku untuk membaca, Subhanallah walhamdu lillahi wa laa ilaaha illallahu wallahu akbar (Maha Suci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada Tuhan selain Allah dan Allah Maha Besar), sebanyak seribu kali setiap siang hari.
Ketika malam Allah Swt memberikan ilham kepadaku untuk membaca, Allahumma shalli ‘alaa muhammadin nabiyil ummiyyi wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam (Ya Allah, anugerahkan rahmat dan salam kepada Nabi Muhammad seorang Nabi yang ummi dan juga kepada keluarga dan sahabat beliau), sebanyak seribu kali setiap malam.
Lalu bagaimana halnya dengan Anda? Apa yang Anda katakan wahai Nabi Allah, agar aku dapat mengambil sesuatu yang bermanfaat dari Anda.”ujar sang cacing kepada Nabi Dawud As.
Atas jawaban cacing itu, Nabi Dawud merasa menyesal atas suara hatinya yang bernada meremehkan terciptanya cacing tersebut. Dia menjadi takut kepada Allah Swt, maka ia bertaubat dan berserah diri kepada-Nya. Maha Benar Allah dalam Firman-Nya, tidaklah Allah menciptakan segala sesuatu dengan sia-sia (QS: Ali Imran: 191)
Dari kisah sini setidaknya kita bisa mengambil empat pelajaran. Pelajaran Pertama, keberadaan cacing yang nampak tak ada gunanya saja mendapat kedudukan di sisi Allah sebagai makhluk yang ditugasi untuk berdzikir dan mendoakan Nabi Muhammad Saw, apalagi keberadaan kita?
Kita yang manusia, yang memiliki akal, yang diberi tuntunan wahyu, yang diberi kesempurnaan fisik (fi ahsani taqwim) , dan dipilih oleh Allah SWT. untuk mengelola bumi (khalifatan fil ardh) , tentu memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah selama kita selalu tunduk patuh kepada-Nya.
Jadi tak perlu lah kita merasa minder dan putus asa dengan segala keterbatasan diri kita. Kita memiliki peran yang tidak bisa diperankan oleh orang lain. Pun orang lain memiliki peran yang belum tentu bisa kita perankan. Hidup kita memiliki arti dan penting, maka manfaatkan hidup kita untuk kebaikan.
Pelajaran kedua, kita dilarang meremehkan mahkluk Allah. Mungkin kita lebih cantik atau rupawan dari seseorang, lebih berpendidikan, lebih terhormat, dan lebih dalam hal harta dari orang lain. Namun kita tidak pernah tahu di mana kedudukan kita di mata Allah dibandingkan orang yang kita remehkan? Bisa jadi orang yang kita remehkan itu jauh lebih mulia di sisi Allah dibanding diri kita.
Pelajaran ketiga, bahwa kita tidak diukur dari apa jabatan kita, seberapa banyak harta kita, setinggi apa derajat pendidikan kita, dan seperti apa manusia memandang kita, tapi kita dilihat dari manfaat apa yang kita berikan kepada manusia, alam, dan makhluk makhluk ciptaan Allah lainnya.
Pelajaran keempat, merenungkan ciptaan Allah bisa mengantarkan kita kepada ma’rifat kepada Allah. Karena selain ayat-ayat qouliyah yang ada di dalam Al-Qur’an, Allah juga menyebarkan firman-Nya di alam semesta ini.