Kisah Nabi Nuh tentang Hidayah Hanya Milik Allah
Hidayah memang milik Allah SWT. Sejarah mencatat, bahkan seorang nabi pun tidak mampu untuk memaksakan hidayah kepada sanak keluarganya. Nabi Luth AS tidak bisa menyelamatkan istrinya, Muhammad SAW tidak kuasa meluluhkan pamannya, sedang Nuh AS tak ada hak mengubah jalan putranya.
Menurut Ibnu Jarir at-Thabari dalam kitab Tarikhnya, Nuh memiliki beberapa orang putra. Mereka adalah Ham, Sam Yafits, Yam, dan Abid. Yam, yang oleh ahli kitab disebut Kan'an, dialah anak Nuh yang tenggelam.
Abid meninggal dunia sebelum banjir besar terjadi. Menurut sumber lain, Abid tenggelam bersama yang lain. Ia termasuk salah satu di antara ke luarga Nuh yang ditetapkan binasa karena ingkar terhadap kebesaran Allah.
Ibnu Katsir dalam Qashash al-Anbiya menuturkan, peringatan demi peringatan tak pernah dihiraukan oleh kaum Nabi Nuh. Allah kemudian membinasakan mereka lewat banjir besar.
Ibnu Jarir dan lainnya menyebutkan, banjir besar terjadi pada tanggal 13 bulan Ab menurut kalender Qibthi. Sebagian pakar tafsir mengatakan, air menutupi puncak gunung tertinggi di bumi setinggi 15 hasta. Sumber lain menyebut 80 hasta.
Air menutup seluruh permukaan bumi. Menenggelamkan seluruh lembah, bukit, pegunungan, ngarai, dan pasir. Saat itu, tak satu pun makhluk hidup di bumi tersisa, entah yang kecil atau yang besar.
Alquran mengisahkan detik-detik menegangkan ini dalam Surah Hud. Semua orang beriman telah naik ke dalam bahtera Nuh. Tumbuhan dan hewan secara berpasang-pasangan tanpa kecuali. Dan saat Nuh memanggil anaknya, ketika itu anaknya berada di tempat yang jauh lagi terpencil.
“Wahai anakku! Naiklah ke kapal bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.”
Anaknya menjawab, “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air bah!” Nuh pun berkata, “Tidak ada yang melindungi dari siksaan Allah pada hari ini selain Allah yang Mahapenyayang.” Gelombang air bah segera bergemuruh dan menjadikan penghalang di antara keduanya.
Dapatlah kita bayangkan betapa risau hati Nuh saat itu. Putranya tenggelam bersama orang-orang kafir. Surah Hud menuturkan, Nuh lalu memohon kepada Tuhannya sambil berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku adalah termasuk keluargaku, dan janji-Mu itu pasti benar. Engkau adalah hakim yang paling adil.”
Allah menjawab kegundahan itu. “Wahai Nuh! Sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu, karena perbuatannya sungguh tidak baik, sebab itu jangan engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak engkau ketahui (hakikatnya). Aku menasihatimu agar (engkau) tidak termasuk orang yang bodoh.”
Nuh pun menyadari, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas ka?
Sihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi.”
Ibnu Katsir berpendapat, pertanyaan yang disampaikan Nuh terkait mengapa Allah menenggelamkan anaknya, tidak lain hanya untuk mencari tahu. Ia tidak hendak menggugat keadilan Tuhan. Pasalnya, Allah telah berjanji kepada Nuh untuk menyelamatkannya beserta keluarganya.
Jawaban disampaikan kepada Nuh, anaknya tersebut bukan termasuk keluarganya yang dijanjikan untuk diselamatkan Allah.Allah berfirman dalam Surah Hud ayat ke-40, “Dan juga keluargamu, kecuali orang yang telah terkena ketetapan terdahulu.”
Putra Nuh itu termasuk di antara mereka yang terkena ketetapan terdahulu. Ia ditetapkan pasti tenggelam karena kekafirannya. Itulah mengapa takdir menggiringnya keluar dari golongan orang-orang mukmin, hingga akhirnya tenggelam bersama golongan orang-orang kafir.
Sesaat kemudian, air pun surut dan kapal berlabuh di atas Gunung Judi yang terletak di Armenia sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia. Dan Allah jadikan anak cucunya orang-orang yang melanjutkan keturunan. Seluruh manusia yang ada di muka bumi saat ini berasal dari keturunan tiga anak Nuh; Ham, Sam, dan Yafits.