Kisah Pemimpin Yang Sederhana

Beberapa pembesar Kerajaan Romawi datang ke Syam, wilayah bekas jajahan mereka yang kini jatuh ke dalam kekuasaan kaum muslimin. Mereka hendak menemui Abu Ubaidah bin Jarrah selaku Gubenur Syam.

Pada waktu lalu, para pembesar itu telah bernegosiasi dengan Muaz bin Jabbal di markas besar Kerajaan Romawi. Tapi karena tidak dicapai kesepakatan, akhirnya mereka sendiri yang hendak menemui Abu Ubaidah.

Tak berapa lama, mereka bertemu dengan Abu Ubaidah. Seseorang dari mereka berkata, “Wahai Tuan! Kemarin Anda mengirim kepada kami seorang laki-laki yang tidak menerima separuh wilayah kami dan tidak menginginkan perdamaian. Dan kami tidak tahu, apakah hal itu merupakan pendapat Anda atau bukan?

Abu Ubaidah terdiam mendengar keterangan pembesar itu. Pembesar Romawi itu melanjutkan perkataannya, “Oleh sebab itu, kami hendak mengirim negosiator kami kepada Anda untuk menawarkan separuh wilayah kami dan mengajak Anda untuk berdamai. Apabila Anda menerima hal itu dari dia, maka siapa tahu hal itu merupakan yang terbaik di antara kita. Tapi apabila Anda menolaknya, kami tidak mengetahui hal lain selain keburukan untuk Anda.”

Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Abu Ubaidah setuju dengan usulan itu. Dia berkata, “Baiklah, silahkan kalian kirim siapa pun negosiator yang kalian suka.”

Para pembesar itu tersenyum bahagia. Karena telah tercapai kesepakatan, mereka segera kembali ke Kerajaan Romawi.

Beberapa hari kemudian, datanglah seorang laki-laki Romawi ke Syam. Laki-laki itu bertubuh tinggi. Kulitnya kemerah-merahan, bola matanya yang berwarna biru menunjukkan bahwa dia merupakan orang Eropa. Laki-laki itu berjalan mendekati beberapa kaum muslimin yang sedang berdiskusi.

Laki-laki itu segera mengamati kaum muslimin. Dia mengamati satu persatu kaum muslimin, namun ia sama sekali tidak menyadari bahwa Abu Ubaidah yang dia cari ternyata duduk di situ.

Laki-laki itu bingung, ia juga tidak melihat singgasana tempat para pembesar lazimnya suatu kerajaan. Laki-laki Romawi itu bertanya, “Wahai orang Arab, dimana Gubenur kalian?”

“Ini dia.” Serentak kaum muslimin seraya menunjuk seorang laki-laki yang duduk bersama mereka.

Laki-laki Romawi memerhatikan laki-laki yang ditunjuk. Laki- laki itu sedang duduk di atas tanah itu, dia nampak sibuk dengan anak panah yang dia bawa, sementara busur panah miliknya dia sandarkan di bahunya.

Laki-laki Romawi itu segera mendekati Abu Ubaidah dan berkata dengan heran, “Apakah Anda pemimpin mereka?”

Abu Ubaidah menoleh ke arah laki-laki Romawi itu dan menjawab, “Benar.”

“Lantas apa yang menyebabkan Anda duduk di atas tanah? Bukankah seharusnya Anda duduk di atas sebuah bantal atau permadani, apakah hal itu merendahkan Anda di sisi Allah, atau malah menjauhkan Anda dari kebajikan?”

Abu Ubaidah terhentak sesaat mendengar uraian kritis laki-laki Romawi itu. Tak heran apabila para pembesar Romawi sangat bersikeras untuk berunding lagi, ternyata laki-laki cerdas inilah di balik semua itu.

Dengan santun dia menjawab pertanyaan itu, “Wahai laki-laki Romawi! Ketahuilah, Allah tidak malu dengan suatu kebenaran. Aku akan membenarkan apa yang baru kau ucapkan. Aku sama sekali tidak memiliki uang dinar maupun dirham. Aku sama sekali tidak memiliki apapun kecuali kuda, pedang, dan senjata perang. Bahkan, kemarin aku sangat membutuhkan uang untuk nafkah keluargaku sehingga aku terpaksa hutang kepada saudaraku ini.” Terang Abu Ubaidah seraya memegang pundak Muaz bin Jabal.

“Apabila aku memiliki bantal maupun permadani, niscaya aku tidak akan duduk di atasnya, malah aku akan menyuruh seorang saudara muslimku, yang aku sendiri tidak tahu barangkali dia lebih baik dari padaku di atas bumi. Dan kami para hamba Allah berjalan di atas tanah, makan di atas tanah, dan tidur di atas tanah. Dan hal itu sama sekali tidak mengurangi kedudukan kami di sisi Allah. Tetapi dengan ini, Allah melipat gandakan pahala kami dan mengangkat derajat kami. Dan oleh sebab itu, kami berendah hati ke Rabb kami. Maka silahkan kau duduk di sini dan utarakan seluruh kebutuhanmu.”

Laki-laki itu terdiam. Baru kali ini dia bertemu dengan seorang pemimpin yang sangat sederhana. Dia segera duduk di sisi Abu Ubaidah dan menjelaskan tujuan kedatangannya.