Kisah Seekor Anjing yang Membongkar Kasus Pembunuhan Setelah Didoakan Nabi

Fulan, anggap saja begitu, adalah salah seorang yang hidup di zaman Bani Israel. Ia memiliki seorang istri yang sangat baik. Sayang, dari pernikahannya itu, ia tak kunjung memiliki momongan. Keadaan yang demikian rumit membuatnya depresi. Hingga akhirnya membuatnya lupa daratan dan lupa diri. Karena saking pusing dan putus asa, ia pun membuat keputusan yang tak wajar: membunuh setiap anak kecil yang ia lihat.

Satu hari, Fulan melihat seorang anak kecil. Anak itu ia rayu dan diajak masuk ke rumah Fulan. Sesampainya di rumah, Fulan membunuh anak itu dan jasadnya dikubur di samping rumah.

Sebenarnya sang istri telah meningangtkan dan mencegah Fulan agar tidak mengerjakan perbuatan keji tersebut. Namun Fulan bergeming. Ia tak menghiraukan nasihat sang istri.

“Jika Allah berkehendak menghukumku atas kesalahanku ini, pasti Dia akan menghukumku saat ini juga,” kata Fulan ngeyel .

“Engkau belum mencapai puncak kesalahanmu. Jika nanti Allah sudah menganggap kesalahanmu telah mencapai seratus persen, niscaya Dia akan menurunkan hukuman kepadamu,” kata sang istri menasihati.

Bebeapa hari setelah itu, Fulan melihat ada dua anak bersaudara yang sedang main. Dua anak itu pun diperlakukan sama seperti anak yang pertama: dirayu, diajak ke rumah, dan dibunuh. Jasadnya pun dikuburkan di lubang yang sama dengan anak yang telah dibunuh Fulan sebelumnya. Inna lillah…

Ayah dari kedua anak itu bingung setelah mengetahui anaknya tak kunjung pulang ke rumah hingga malam hari. Ahmad mencari kesana kemari namun tak membuahkan hasil. Merasa gagal dengan usahanya mencari dua anaknya, Ahmad sowan kepada salah seorang Nabi di zamannya.

Setelah mendengar keluhan atas masalah yang sedang dihadapi Ahmad, sang Nabi pun bertanya, “Apakah dua anakmu itu memiliki mainan yang sering dimainkan?”

“Iya. Mereka suka memainkan anjing kecil miliki kami,” kata Ahmad menjawab apa adanya.

Sang Nabi meminta Ahmad untuk menyampaikan secara detail cerita dua anaknya dengan si anjing. Sambil menahan kesedihan yang begitu mendalam, Ahmad pun menceritakan semuanya.

Ahmad pun akhirnya diperintahkan untuk mengambil si anjing untuk dibawa ke hadapan sang Nabi. Sang Nabi lantas mengambil cincin yang biasa dipakai. Cincin itu kemudian diletakkan di antara kedua mata si anjing.

Sejurus kemudian, sang Nabi menyuruh Ahmad untuk mengikuti kemana saja anjing itu pergi. Anjing itu kemudian dilepas.

“Coba kamu perhatikan rumah yang didatangi si anjing!. Di sana ada informasi penting tentang anakmu,” kata sang Nabi memerintahkan.

Anjing itu pergi menyusuri jalan-jalan dan rumah-rumah. Selain Ahmad, ada beberapa orang yang mengikuti langkah anjing itu. Hingga akhirnya, si anjing masuk ke rumah Fulan, lelaki pembunuh anak Ahnad. Saat itu Fulan dan istrinya sedang tidak ada di rumah.

Setelah melacak seluruh isi rumah, si anjig pergi menuju samping rumah, tepat di kuburan dua anak Ahmad. Si anjing menggerak-gerakkan telinganya di atas kuburan. Tak hanya itu, kaki si anjing pun juga mencoba menggali isi kuburan.

Orang-orang yang melihat tingkah si anjing pun merasa curig. Mereka akhirnya menggali kuburan itu. Betapa kaget dan sedihnya Ahmad, di kuburan itu, ia melihat jasad kedua anaknya berada di sana bersama jasad anak-anak lain.

Ahmad dan orang-orang melaporkan apa yang mereka lihat kepada sang Nabi. Bersama orang-orang, sang Nabi mencari keberadaan Fulan. Setelah ketemu, sang Nabi pun memerintahkan agar Fulan dihukum dengan cara disalib.

Sang istri yang mengetahui suaminya hendak disalib akhirnya menasihati untuk terakhir kali, “Apa aku bilang. Kini kesalahanmu telah genap seratus persen. Allah segera akan menghukummu”.

Kisah ini penulis baca dari kitab an-Nawadir karya Ahmad Syihabuddin bin Salamah al-Qalyubi. Lewat kisah ini kita bisa belajar bagaimana mekanisme Allah menurunkan hukuman. Dia hanya akan menghukum seseorang/kaum atas kesalahan yang telah diperbuat manakala kesalahan itu telah (dianggap) benar-benar seratus persen. Wallahu a‘lam .

Sumber Kisah:

al-Qalyubi, Ahmad Shihabuddin bin Salamah. al-Nawadir . Kairo: Musthafa al-Babiy, 1955.