Kisah Ulama yang Mengetahui Hari Wafatnya Sendiri

Pada suatu waktu, Syekh Ahmad dan Abdullah melakukan perjalanan dan telah sampai di Usfan. Di daerah itu, Syekh Ahmad bertemu dengan seorang syekh. Sebut saja Syekh Fulan.

Setelah menyapa dan mengucapkan salam kepada Syekh Fulan, Syekh Ahmad pun langsung mencari tempat untuk berbincang empat mata. Abdullah melihat, kedua syekh ini meneteskan air mata. Entah apa yang dibicarakan.

Sebelum berpisah dengan Syekh Fulan, Syekh Ahmad meminta wejangan kepadanya.

“Kuatkan ketakwaanmu dan selalu ingatlah akhirat,” isi salah satu nasihat Syekh Fulan.

Singkat cerita, mereka tiba di Makkah. Setelah mendapatkan tempat singgah di daerah Abthah, Syekh Ahmad lantas menyuruh Abdullah untuk mencarikan kertas dan alat tulis. Abdullah berangkat. Tak lama setelah itu, ia kembali dengan membawa dua benda permintaan Syekh Ahmad.

Syekh Ahmad kemudian menulis dua surat. Satu dititipkan kepada Abdullah untuk diberikan kepada sahabat Syekh Ahmad, yang bernama Syekh Abbad bin Ayyad. “Serahkan surat ini kepadanya. Sampaikan salamku kepadanya dan juga para jamaahnya,” kata Syekh Ahmad.

Satu surat lainnya diberikan kepada Abdullah. Namun, Syekh Ahmad memberikan syarat. Surat itu hendaknya dibaca nanti ketika lebaran iduladha.

Sejurus kemudian, Abdullah meninggalkan Syekh Ahmad dan pergi ke tempat Syekh Abbad.

Ketika Abdullah tiba, Syekh Abbad sedang mengajar para jamaah. Setelah memperkenalkan diri, Abdullah pun mengutarakan maksud kedatangannya: mengantar surat.

“Saya ada titipan surat untuk Anda. Dari sahabat Anda, Syekh Ahmad,” kata Abdullah.

Syekh Abbad membacanya saat itu juga. Selain berisi tentang berisi nasihat, surat itu juga berisi informasi yang mencengangkan, yakni, “Saya meninggal sekarang. Aku memohon engkau berkenan mengurus jenazahku.”

Informasi ini jelas membuat Syekh Abbad kaget bukan kepalang. Ia bertanya kepada Abdullah tentang keberadaan Syekh Ahmad.

“Dia ada di Abthah,” Abdullah menjawab.

“Apa dia sakit?,” tanya Syekh Abbad lagi.

“Tidak. Tadi dia sehat-sehat saja,” Abdullah menginformasikan.

Syekh Abbad, para jamaah, dan Abdullah saat itu juga langsung berangkat menuju Abthah. Dan benar, mereka menemukan Syekh Ahmad sudah meninggal dunia dalam keadaan tertutupi jubah dan menghadap kiblat. Jenazahnya pun diurus sebagaimana mestinya.

Lebaran iduladha tiba. Abdullah segera membuka surat dai Syekh Ahmad. Surat itu, selain berisi tentang nasihat-nasihat keagamaan, juga berisi permintaan Syekh Ahmad.

“Serahkan harta peninggalanku kepada ahli warisku. Mereka berada di Baitulmaqdis,” salah satu kalimat dalam surat itu.

Abdullah bingung. Pasalnya ia tak mengetahui mana barang-barang peninggalan Syekh Ahmad. Setelah mengingat-ingat, ia ingat bahwa ketika hendak dikafani, Syekh Ahmad meninggalkan tiga barang: tas, tongkat, dan gelas. Abdullah berangkat ke Baitulmaqdis dengan membawa barang-barang itu.

Tiba di sana, Abdullah bingung. Tak tau siapa yang akan diberinya barang-barang warisan Syekh Ahmad. Tak ada yang ia kenal. Juga, ada begitu banyak orang di sana.

“Hai, Nak, tolong berikan kepadaku barang titipan dari Syekh Ahmad,” kata seorang syekh kepada Abdullah secara tiba-tiba. Sebut saja bernama Syekh Zaid.

Tak butuh waktu lama, Abdullah langsung memberikannya. Setelah itu, ia pergi. Keluar dari masjid beberapa langkah, Abdullah sadar bahwa tidak mengenal lebih jauh Syekh Ahmad yang kemarin bersamanya itu adalah sebuah kesalahan.

Oleh karenanya, bagi Abdullah, hal itu jangan sampai terulang lagi. Kali ini, ia ingin mengenal Syekh Zaid lebih jauh lagi, seorang syekh yang ia temui di masjid barusan. Abdullah kembali ke masjid dengan niatan ingin membersamainya sampai salah satu dari mereka (Abdullah atau Syekh Zaid) meninggal dunia.

Sayang, Syekh Zaid tidak ada di masjid. Abdullah mencari kemana-mana. Namun, tetap saja tak ada hasil. Orang-orang yang tanyai pun sama: tak ada yang mengetahui.

Abdullah tak putus asa. Ia memutuskan untuk tinggal di Baitulmaqdis dalam beberapa hari ke depan. Tujuannya satu: agar ia bisa bertemu Syekh Zaid. Namun, lagi-lagi usahanya tak membuahkan hasil. Ia akhirnya kembali ke daerahnya, Irak.

Kisah ini penulis baca dan ringkas dari kitab ‘Uyun al-Hikayat. Banyak sekali hikmah yang bisa kita pelajari. Salah satunya adalah selalu memanfaatkan waktu untuk ber- istifadah (mengambil faidah/ilmu) atau ngalap berkah kepada para ulama, sebagaimana yang dilakukan Abdullah. Wallahu a’lam.

Sumber Kisah:

Al-Jauzî, Jamâluddîn Abi al-Farj bin. ’Uyûn al-Hikâyat . Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2019.