Kisah Wafatnya Nabi Adam

Nabi-nabi merupakan orang-orang dengan kualitas rohani yang luar biasa. Namun sebagaimana umumnya manusia, secara fisik mereka memiliki keterbatasan-keterbatasan. Mereka makan, minum, istirahat, dan juga meninggal dunia. Sifat-sifat manusiawi ini pula yang dimiliki Nabi Adam ‘alaihissalam . Beliau didiciptakan oleh Allah sebagai manusia pertama, lalu bersama sang istri Hawa hidup di bumi dengan batas usia yang sudah ditetapkan.

Nabi Adam dianugerahi karunia bisa merasakan detik-detik akhir masa hidupnya. Sehingga ketika ajal itu hendak datang, Nabi Adam tampak seperti telah mempersiapkan semuanya.

Nabi Adam memulainya dengan mengajukan permintaan terakhir kepada putra-putranya, yakni ingin memakan buah surga. Permintaan ini sulit bila harus dimaknai secara harfiah, karena di alam dunia yang serbafana ini buah surga mustahil ditemukan. Surga hanya ada di alam akhirat.

Sebab itulah, ada ulama yang menafsirkan bahwa permintaan akan buah surga merupakan isyarat bahwa Nabi Adam tengah dilanda rindu akan kebahagiaan surgawi yang pernah beliau tinggali sebelum turun ke bumi. Inilah sinyal bahwa kawafatan beliau semakin dekat.

Meski demikian, sebagai anak berbakti, para putra Nabi Adam tetap berangkat mencarikan buah surga. Namun, tak jauh usai meninggalkan sang ayah, perjalanan mereka diadang oleh sejumlah lelaki.

“Wahai anak-anak Adam, apa yang kalian cari? Atau apa yang kalian mau? Dan ke mana kalian pergi?”

Mereka menjawab, “Bapak kami sakit, beliau ingin makan buah dari Surga.”

“Pulanglah, karena ketetapan untuk bapak kalian telah tiba,” pinta para lelaki itu yang ternyata adalah para malaikat yang sedang menjelma manusia. Di tangan mereka sudah tersedia kafan, wewangian, serta sejumlah perangkat yang lazim diperlukan untuk menggali kubur: kapak, cangkul, dan sekop.

Saat para malaikat itu datang, Hawa melihat dan mengenali mereka, maka ia pun berlindung kepada Nabi Adam.

“Menjauhlah dariku. Aku pernah melakukan kesalahan karenamu. Biarkan aku dengan malaikat Tuhanku tabâraka wa ta'âlâ,” kata Nabi Adam kepada Hawa.

Para malaikatlah yang mencabut nyawa Nabi Adam, lantas memandikannya, mengkafaninya, memberinya wewangian, menyiapkan liang lahad, juga menshalatinya. Selanjutnya mereka turun ke kuburnya, memasukkan jenazah Adam ke dalam, lalu mereka meletakkan bata di atasnya. Usai naik ke atas kubur, mereka pun menimbunnya dengan batu. Mereka berseru, “Wahai anak cucu Adam, ini adalah sunnah kalian.”

Rupanya Nabi Adam mempersiapkan pelajaran berharga bagi generasi berikutnya tentang bagaimana semestinya memperlakukan orang meninggal. Manusia tak hanya dihormati ketika masih hidup tapi juga saat mereka mati. Standar penghormatan pun tak berlebihan. Tak ada prosesi pembakaran mayat, mutilasi tubuh, menempeli jenazah dengan perhiasan, atau semacamnya. Namun, semua pelajaran tersebut cukup menggambarkan bahwa manusia itu pada dasarnya mulia, namun kehidupan duniawinya pasti berujung fana. Dari tanah kembali ke tanah.

Kisah ini bisa kita jumpai salah satunya dari uraian Syekh Umar Sulaiman Abdullah al-Asyqar dalam kitab Shahîhul Qishash an-Nabawî yang mendasarkan cerita pada hadits marfu’ sebagai berikut:

عَنْ عُتَيٍّ ، قَالَ : رَأَيْتُ شَيْخًا بِالْمَدِينَةِ يَتَكَلَّمُ ، فَسَأَلْتُ عَنْهُ ، فَقَالُوا : هَذَا أُبَيُّ بْنُ كَعْبٍ ، فَقَالَ : إِنَّ آدَمَ لَمَّا حَضَرَهُ الْمَوْتُ قَالَ لِبَنِيهِ : أَيْ بَنِيَّ إِنِّي أَشْتَهِي مِنْ ثِمَارِ الْجَنَّةِ ، فَذَهَبُوا يَطْلُبُونَ لَهُ ، فَاسْتَقْبَلَتْهُمُ الْمَلاَئِكَةُ وَمَعَهُمْ أَكْفَانُهُ وَحَنُوطُهُ ، وَمَعَهُمُ الْفُؤُوسُ وَالْمَسَاحِي وَالْمَكَاتِلُ ، فَقَالُوا لَهُمْ : يَا بَنِي آدَمَ ، مَا تُرِيدُونَ ؟ وَمَا تَطْلُبُونَ ؟ أَوْ مَا تُرِيدُونَ ؟ وَأَيْنَ تَذْهَبُونَ ؟ قَالُوا : أَبُونَا مَرِيضٌ فَاشْتَهَى مِنْ ثِمَارِ الْجَنَّةِ ، قَالُوا لَهُمْ : ارْجِعُوا فَقَدْ قُضِيَ قَضَاءُ أَبِيكُمْ

فَجَاؤُوا ، فَلَمَّا رَأَتْهُمْ حَوَّاءُ عَرَفَتْهُمْ ، فَلاَذَتْ بِآدَمَ ، فَقَالَ : إِلَيْكِ إِلَيْكِ عَنِّي فَإِنِّي إِنَّمَا أُوتِيتُ مِنْ قِبَلِكِ ، خَلِّي بَيْنِي وَبَيْنَ مَلاَئِكَةِ رَبِّي – تَبَارَكَ وَتَعَالَى – فَقَبَضُوهُ ، وَغَسَّلُوهُ وَكَفَّنُوهُ وَحَنَّطُوهُ ، وَحَفَرُوا لَهُ وَأَلْحَدُوا لَهُ ، وَصَلَّوْا عَلَيْهِ ، ثُمَّ دَخَلُوا قَبْرَهُ فَوَضَعُوهُ فِي قَبْرِهِ وَوَضَعُوا عَلَيْهِ اللَّبِنَ ، ثُمَّ خَرَجُوا مِنَ الْقَبْرِ ، ثُمَّ حَثَوْا عَلَيْهِ التُّرَابَ ، ثُمَّ قَالُوا : يَا بَنِي آدَمَ هَذِهِ سُنَّتُكُمْ

Hadits ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaidul Musnad (5/136). Ibnu Katsir menyebut sanad hadits ini shahih kepada Ubay bin Kaab ( Al-Bidayah wan Nihayah , 1/98). Al-Haitsami juga mengatakan bahwa hadits tersebut diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad. Rawi-rawinya tergolong rawi shahih, kecuali Uttiy bin Dhamurah. Dia adalah rawi tsiqah ( Majmauz Zawaid , 8/199).

Hadits ini meskipun mauqûf (sanadnya tidak sampai pada Nabi ﷺ) melainkan hanya pada Ubay bin Ka’ab, tetapi mempunyai kekuatan hadits marfû’ (sanadnya bersambung ke Rasulullah) karena tak mungkin hal itu keluar dari pendapat pribadi. Wallahu a’lam .