Sayyidina Ali RA bercerita bahwa salah seorang pernah mendatangi Rasulullah SAW. Orang ini menyatakan pengakuan dosanya di hadapan Rasulullah SAW. Kepada Rasulullah SAW, ia meminta pembebasan dan penyucian atas dosanya.

“Wahai Rasulullah, aku telah berlumuran dosa. Sucikanlah diriku,” kata seseorang itu.

“Apa dosa yang kaulakukan?”

Orang ini enggan menyatakan dosa yang dia lakukan.

“Aku malu mengatakannya.”

Wajah Rasulullah SAW memerah. Ia mengusir orang tersebut. Rasulullah SAW tidak sudi menerimanya.

“Apakah kau malu mengabarkan dosamu kepadaku, tetapi tidak malu kepada Allah yang melihatmu? Keluar kau agar api celaka tidak menimpa kami,” kata Rasulullah.

Laki-laki itu kemudian pergi meninggalkan Rasulullah. Ia menangis sedih. Ia merasa putus asa dan sia-sia karena Rasulullah SAW menampiknya.

Ketika itu, Jibril AS datang kepada Nabi Muhammad SAW. Ia menegur Rasulullah SAW karena sejatinya orang itu memiliki amal tertentu yang menjadi harapan atas penyucian dosanya sebagaimana cerita Sayyidina Ali RA.

فجاء جبريل وقال يا محمد لم آيست العاصي وله كفارة لذنوبه وإن كانت كثيرة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم وما كفارته قال له صبي صغير فإذا دخل في بيته والصبي يستقبله فيدفع إليه شيئا من المأكولات أو ما يفرح به فإذا فرح الصبي يكون كفارة لذنبه

Artinya, “Jibril lalu datang dan menegur, ‘Wahai Muhammad, mengapa Anda membuat putus asa orang yang bermaksiat sementara ia memiliki amal yang dapat menghapus dosanya (kafarat).’ ‘Apa kafaratnya?’ tanya Rasulullah SAW. ‘Ia memiliki anak kecil. Bila masuk ke dalam rumah laki-laki itu dan menemuinya, ia memberikannya makanan atau sesuatu yang membahagiakannya. Kalau anak itu bahagia, maka itu menjadi kafarat baginya,’ jawab Jibril AS,” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qamiut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 26).

***

Cerita ini menegaskan bahwa anak-anak dan dunianya mendapat prioritas utama dalam Islam, sesuatu yang selama ini tidak mendapat perhatian istimewa dalam pemikiran Islam. Perhatian yang rendah terhadap anak-anak dan dunianya ini yang menyebabkan banyak masjid dan fasilitas umum lainnya belum ramah anak.

Oleh karenanya, Rasulullah SAW pada sebagian sabdanya mengatakan bahwa seorang Muslim dapat meraih derajat penyayang bila ia menyayangi banyak orang, bukan hanya dirinya dan orang di lingkungannya saja.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ليس الرحيم الذي يرحم نفسه وأهله خاصة ولكن الرحيم الذي يرحم المسلمين

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Penyayang itu bukan ia yang mengasihi dirinya dan keluarganya saja. Penyayang itu adalah mereka yang mengasihi semua umat Islam,’” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Syarah Qamiut Thughyan, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun], halaman 26).

Kata “semua umat Islam” di sini merupakan lafal umum. Dengan demikian, “umat Islam” di sini mencakup anak-anak, bukan hanya mereka yang dewasa. Wallahu a‘lam