Syaibah bin Hasyim, sebagian dari kita pasti masih terasa asing mendengar nama tersebut, tapi jika disebut dengan nama laqab -nya (istilah julukan dalam bahasa Arab); Abdul Muthalib, kita sepakat nama tersebut pasti merujuk kepada kakek Nabi Muhammad SAW. Seperti yang diajarkan guru-guru TPQ kita dulu, Nasab Nabi SAW adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim.

Penyebab Syaibah lebih dikenal dengan sebutan Abdul Muthalib, setelah beberapa tahun pasca wafatnya Hasyim, Muthalib (paman Abdul Muthalib) membawanya dari kota Yastrib ke kota Mekah. Sewaktu warga Mekah melihat Syaibah memasuki kota bersama pamannya, mereka menganggapnya sebagai budak yang dibawa Muthalib dari kota Yastrib, oleh karena itu ia dinamai Abdul Muthalib (budak dari Muthalib). Meski mereka menyadari kekeliruan tersebut, nama Abdul Muthalib oleh penduduk Mekah terus dilekatkan padanya.

Sepeninggal Muthalib, tampuk kepemimpinan kabilah Mekah diserahkan kepada putra Hasyim yaitu Abdul Muthalib. Dengan model kepemimpinan yang mirip dengan ayahnya, Abdul Muthalib berhasil merebut hati kaum Quraisy, sehingga tak ada satupun penduduk Makah yang tidak menaruh hormat kepada Abdul Muthalib.

Berdasarkan catatan sejarah, peristiwa penyerangan kota Mekah oleh tentara Abrahah yang dikenal dengan istilah ashab al-Fil (Pasukan Bergajah) yang hendak menghancurkan Ka’bah terjadi pada masa Abdul Muthalib sebagai kepala kabilah dan pimpinan di kota Mekah. Penyerangan Ka’bah oleh Abrahah ini diabadikan dalam Al-Qur’an surat al-Fil.

Sewaktu memasuki kota Mekah, tentara Abrahah merampas unta-unta milik penduduk Mekah. Ketika mendapatkan laporan tersebut, Abdul Muthalib menemui Abrahah dan memprotes tindakannya. Ia meminta agar unta-unta yang dirampas tentara Abrahah untuk segera dikembalikan kepada pemiliknya. Abrahah kaget mendengar protes tersebut, sebagai pimpinan Makah tak seharusnya Abdul Muthalib mementingkan keselamatan unta para penduduk dibanding dengan keselamatan Ka’bah.

“Kukira kedatanganmu untuk memprotes penyeranganku terhadap Ka’bah, ternyata hanya demi unta para penduduk Mekah”. “Inna hadza al- bait dinu abika Ibrahim” “ bukankah Ka’bah ini adalah peninggalan nenek moyangmu, Ibrahim?” tanya Abrahah kepada Abdul Muthalib.

“Inni ana robbu al-ibili, wa inna lihadza al-bait robban khamahu” , “Saya ini adalah tuan para unta yang kamu rampas, sedangkan Ka’bah yang akan kamu hancurkan itu memiliki tuannya sendiri, ia yang akan menjaganya.”

“Jadi saya kesini ingin mengambil sesuatu yang memang menjadi tanggung jawabku, yaitu unta penduduk Mekah yang engkau rampas”.

Jawaban Abdul Muthalib tersebut membuat Abrahah marah sekaligus kagum, ia marah karena merasa diremehkan dan kagum karena sikap kepercayaan diri Abdul Muthalib yang belum pernah ia temui selama ini dalam diri seorang pemimpin.

Singkat cerita akhirnya Abrahah melepaskan unta para penduduk Mekah, dan kemudian menyerang Ka’bah. Penyerangan ini mengiringi kelahiran Nabi SAW di tahun tersebut, sehingga sampai sekarang seperti yang kita ketahui tahun kelahiran Nabi SAW disebut dengan tahun gajah.

Ribuan tahun berlalu semenjak peristiwa tersebut terjadi, KH. Abdurrahman Wahid atau kerap disapa Gus Dur pernah menulis artikel berjudul “Tuhan tidak perlu dibela” pada tahun 1982 yang kemudian diterbitkan oleh Tempo. Tulisan tersebut memberikan pemahaman positif-konstruktif kepada umat Islam dalam merespon tiap permasalahan atau isu agama yang terjadi. Agar umat tidak serta merta mengatasnamakan Tuhan dan agama dalam setiap gerakan yang dilakukan.

Tulisan Gus Dur tersebut menurut saya relevan dengan sikap yang diajarkan oleh Abdul Muthalib, kakek Nabi SAW. “Tuhan tidak perlu dibela” memuat nilai atas prinsip yang dipegang teguh oleh Abdul Muthalib ketika berhadapan dengan Abrahah yang ingin menghancurkan Ka’bah. Keyakinan yang kuat membuat Abdul Muthalib paham betul bahwa ia tak perlu mengambil pusing atas sesuatu yang tidak dalam porsi jangkauannya.

Abdul Muthalib tidak serta merta bersikap reaktif atau bahkan defensif atas apa yang akan menimpa simbol agamanya, agama khanif yang dibawa oleh moyangnya, Ibrahim. Kita bisa bayangkan bersama-sama, andai penyerangan Ka’bah tersebut terjadi di zaman sekarang, entah respon apa yang akan kita lakukan.

Artikel Tuhan tidak perlu dibela milik Gus dur adalah bagian dari nilai tauhid yang diajarkan oleh Abdul Muthalib, terlepas dari kontroversi pemikiran tersebut yang sampai sekarang memang masih dan sepertinya akan selalu relevan untuk didiskusikan. Jika kemarin ada ustad yang memproklamirkan diri mendapat ilmu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka tidak ada salahnya jika kali ini saya mengatakan bahwa sanad ke-tauhidan Gus Dur sampai kepada Abdul Muthalib, kakek Nabi SAW. (AN)