Taruh di Punggungku

Madinah telah diselimuti oleh gelapnya malam. Para penduduk banyak yang tengah beristirahat dan sebagian yang lain mengisi malamnya dengan bermunajat kepada Rabb-nya.

Khalifah Umar dan Aslam berjalan mengelilingi Madinah, mengamati keadaan penduduk Madinah. Mereka terus berjalan hingga sampai di bukit Waqim. Mereka tetap berjalan hingga berada di lembah Shiror. Dari kejauhan mereka melihat nyala api.

Khalifah Umar menoleh ke Aslam dan berkata, ”Di tempat ini aku melihat kafilah. Nampaknya, hari yang telah malam dan udara dingin merintangi mereka-untuk masuk ke Madinah, Ayo kita pergi menemui mereka!”

Mereka berdua bergegas mendatangi sumber nyala api itu. Begitu tiba di sumber api itu, Khalifah Umar terhentak, ternyata pemilik nyala api itu adalah seorang ibu dengan dua anaknya yang tengah menangis. Sedang nyala api itu adalah perapian yang di atas­nya terdapat periuk, tempat sang ibu memasak.

Khalifah Umar mendekat, dan berkata “Assalamu ‘alaikum, wahai pemilik sinar”

Mendengar suara itu, sang ibu menoleh dan berkata, “Wa’alaika salam.”

“Apakah kami boleh mendekat?” Tanya Khalifah Umar.

“Silahkan Anda mendekat dengan baik atau silahkan pergi!” jawab sang ibu.

Khalifah Umar mengedarkan pandangannya, dia begitu iba melihat keadaan sang ibu dan anak-anaknya. Dia pun bertanya dengan sopan, ”Apa yang terjadi dengan kalian?”

Sang ibu menjawab dengan pelan, “Hari yang telah malam dan udara dingin merintangi kami.”

“Lantas kenapa anak kecil ini menangis?”

“Mereka menangis karena lapar.” Jawab sang ibu pelan.

Khalifah Umar semakin penasaran, dia pun bertanya kembali,

Lantas apa isi periuk ini?”

“Isi periuk itu hanyalah air yang saya buat untuk menenangkan meieka hingga mereka dapat tidur. Allah akan mengadili kami dengan Umar.” Ucap sang ibu, dia sama sekali tak menyadari bahwa laki-laki yang sedang berbicara dengannya adalah Khalifah Umar sendiri.

Khalifah Umar tersentak mendengar penuturan sang ibu, “Apa yang Umar ketahui tentang kalian?”

“Umar menguasai perkara kami, namun dia lupa pada kami!” jawab sang Ibu.

Khalifah Umar bagai tersambar petir mendengarnya. Dia sangat tak menduga ada rakyatnya yang tidak mendapatkan keadilan. Dia menoleh ke arah Aslam.

“Ayo kita pergi!” Perintah Khalifah Umar.

Aslam menganggukkan kepala, dan segera berjalan mengiringi langkah Khalifah Umar. Dia sama sekali tak tahu ke mana tujuan Khalifah Umar.

Khalifah Umar berjalan dengan tergesa-gesa, tak berselang lama, mereka telah sampai di tempat penyimpanan tepung. Khalifah Umar mengambil satu karung gandum, dan sekantong lemak.

“Taruh ini di punggungku!” perintah Khalifah Umar kepada Aslam.

Aslam terkejut mendengar perintah majikannya itu. Dia pun dengan segera menjawab, ”Saya saja yang membawanya, wahai Amirul Mukminin”

Khalifah Umar tetap bersikeras agar Aslam menaruh kantong itu ke punggungnya. Tetapi Aslam menolak untuk melakukannya dan terus meminta agar dirinya saja yang membawa.

Khalifah Umar menatap Aslam dengan tajam. Dengan suara keras dia berkata, ” Apakah kau akan membawa seluruh dosa-dosaku saat hari kiamat? Sungguh celaka dirimu!”

Aslam terdiam. Dia pun segera mengangkat karung itu dan menaruhnya ke punggung Khalifah Umar. Hups, terdengar suara Khalifah Umar menahan beban kantong itu. Khalifah Umar segera pergi menuju kemah ibu dan anak-anaknya itu.

Sementara itu, Aslam berjalan di belakang Khalifah Umar, dia berjaga-jaga seandainya kantong itu akan jatuh, dia bisa langsung mengambil kantong itu dari punggung Khalifah Umar.

Tak berselang lama, Khalifah Umar dan Aslam telah sampai di tenda sang ibu tadi. Sang ibu tak percaya ada seorang laki-laki itu yang tidak dia kenal, tapi rela membantunya, bahkan bersusah payah membawa kantong itu sendirian.

Khalifah Umar meletakkan dua kantong itu di samping pempian seraya berkata, “Taburkan itu untukku, aku akan mengaduknya untukmu!”

Sang ibu segera melaksanakan perintah Khalifah Umar. Dia menaburkan gandum di atas periuk, sementara itu Khalifah Umar mengaduknya dengan pelan. Sesekali Khalifah Umar meniup api agar membesar. Khalifah Umar terus mengaduk periuk hingga hingga itu matang.

“Berikan aku nampan!” Perintah Khalifah Umar kepada sang ibu.

Sang ibu segera mengambil sebuah nampan besar. Lalu, Khalifah Umar menuangkan seluruh adonan ke dalam wadah tersebut.

“Segera beri makan mereka!” Perintah Khalifah Umar seraya mengusap peluh di kepalanya.

Sang ibu membawa adonan itu kepada anak-anaknya. Ia segera membangunkan dua anaknya itu. Melihat sang ibu membawa makanan, mereka gembira bukan main. Setelah membaca basmalah mereka makan adonan itu dengan lahap hingga mereka kenyang.

Melihat hal itu, Khalifah Umar tersenyum. Dia begitu bahagia melihat ibu dan dua anaknya itu. Tugasnya kini telah selesai. Dia harus meneruskan perjalanannya, mengamati rakyatnya secara langsung. Dia tak mau ada kejadian serupa dengan ini lagi.

Khalifah Umar bangkit dan hendak meneruskan perjalanannya. Tiba-tiba sang ibu mendatangi Khalifah Umar dan berkata, ”Semoga Allah membalas jasa Anda dengan kebaikan, Anda lebih berhak memegang pemerintahan ini dari pada Umar.”

Khalifah Umar tersenyum mendengar ucapan sang ibu. Dia berkata, ” Ucapkanlah kebaikan. Apabila kau datang ke Amirul Mukminin maka kau akan menemukanku di sana, Insya Allah.”

Khalifah Umar dan Aslam segera beranjak pergi. Khalifah Umar berjalan ke suatu arah dan duduk di situ. Lalu, dia memandang sang ibu dan anak-anaknya.

“Apakah Anda masih memiliki kebutuhan selain ini? Kalau begitu, Anda jangan mengajak saya berbicara hingga Anda melihat anak-anak itu bermain-main dan tidur dengan tenang.” Tanya Aslam penasaran.

“Wahai Aslam! Sesunguhnya lapar membuat mereka tidak bisa tidur dan menangis. Aku tidak akan pergi sebelum aku melihat seperti apa yang kau lihat.” Ucap Khalifah Umar seraya menunjuk ke arah anak-anak dan sang ibu yang mulai beranjak tidur.